Senin, 06 April 2015

Tanah Weh

25 September 2014, semua bermula pada tanggal itu. sebenarnya saat merapikan barang-barang kedalam koper di Hotel Sultan ada keraguaan yang mulai menggetirkan. Tapi semua sudah terlanjur dan saat melangkah pantang untuk mundur. Menuruni tangga hotel dengan koper yang yang sangat besar menambah jenuh perjalanan ini. Dengan angkutan umur dan berdesak-desakan melajulah ke Ulee Lhee udara panas tanah rencong benar-benar mengimbangi. 

Pelabuhannya cukup sepi dan tidak terlalu semeraut malah sangat lengang. Kami ber-13 mulai memasuki kapal cepat yang akan membawa ke tanah weh. dan tidak terlalu lama hanya 45 menit saja telah sampai di pelabuhan Balohan yang begitu ramai dan semeraut. Para porter berbicara dengan nada tinggi berusaha untuk menarik penumpang dalam manawarkan jasa. Sumpek dan tidak menarik tapi itulah suasana pelabuhan. 

Ada harapan di tanah ini, tanah yang belum pernah saya sentuh sebelumnya. Perlahan udara Weh menyusup hingga ke alveol paru. Terasa nyaman dalam keramaian dan damai dalam balutan asap rokok yang membumbung. Keyakinan akan masa depan itu di sinilah bermula. Bukan untuk merubah tanah ini bukan pula tuk menghilangkannya. Keyakinan untuk berkembang bersamanya.

Dulu saya pernah mendengar nama ini dan sekarang sepertinya saya akan sering menyebutnya Weh dan Sabang. Menurut cerita penduduk Weh berarti pindah, dinamakan demikian karena ini menjadi tempat pindahnya orang-orang dari tanah Aceh daratan. Meskipun sumber cerita belum jelas tetapi masyarakat di tanah ini selalu menuturkannya begitu.

Kali ini saya menjadi sangat diam dan berusaha untuk fokus dengan pemandangan yang tampak. Angkutan yang saya tumpangi mulai keluar melewati gerbang pelabuhan. 

bersambung...

Tidak ada komentar: