Selasa, 28 April 2015

TANAH WEH 2



Dalam angkot yang membawa rombongan kami, saya menjadi termangu dan pikiran melayang ke waktu lalu. Sebuah awalan yang akhirnya membawa raga saya berada di sini. Lamat tangan saya menopang ke dagu dan perlahan menutupkan mata seraya menarik udara sekitar melalui celah-celah rongga pernapasan yang akhirnya mempertemukan rangkaian sel saraf otak saya ke kenangan masa lalu. 

Entah apa yang ada dibenak saya saat mengikuti tes kerja dan sangat meyakini bahwa saya akan di tempatkan di Aceh. Saat melihat daerah penempatan, hati saya seakan bergetar dan terpanggil untuk meyakini bahwa saya akan ditempatkan di daerah Aceh. memasuki ruang tes tertulis saya semakin berpikir bahwa kali ini saya akan bisa menyelesaikannya dengan baik dan akan lulus. Entah apa yang ada dibenak saya. Memasuki tahapan tes wawancara kembali yang ada dipikiran saya bahwa jika ditanya ingin ditempatkan maka saya akan menjawab "Saya ingin ditempatkan di Aceh!". 

Tahapan wawancara pun akhirnya tiba. Satu persatu peserta dipanggil untuk menjalani tahapan itu. Tiba giliran saya dan keyakinan untuk memilih Aceh kian kuat. Setelah beberapa pertanyaan berhasil saya jawab dengan lancar akhirnya keluar juga pertanyaan yang sejak awal telah saya rasakan akan ditanyakan. 

"Kamu kalu bisa milih ingin ditempatkan dimana?"

kata-kata tim penguji itu terdengar memekakkan dan sanggup membuat saya terdiam menarik napas panjang. Dengan sisa-sisa keyakinan yang ada saya isi penuh seluruh rongga dada dengan udara yang terasa menipis disekitar saya akibat pertanyaan penguji. 

"Saya ingin ditempatkan di Aceh."

"Kenapa?"

Kata itu mengisi penuh ruang kosong di celah-celah telinga. Dan dengan senyuman yang saya rasa telah mampu untuk menunjukkan semua gigi seri saya yang tak bisa dibilang indah saya menjawab dengan jelas.

"Saya akan mengabdikan kemampuan saya di sana, sekaligus menemukan iman saya".

"Dengan kulit putih dan mata sipit, mungkin kamu akan nampak berbeda di tengah masyarakat sana?".

"Perbedaan akan mempersatukan". 

Kembali saya memoles senyum tipis di wajah.

"Bukankah karena perbedaan juga kita bisa bertemu disini. Tepatnya perbedaan waktu dan kesempatan".  

Sepertinya kali ini lidah saya semakin lancar dalam mengatur kata-kata yang entah berasal dari mana.


Tidak ada komentar: