Rabu, 21 Oktober 2015

CUAL RUH LELUHUR SEBENTUK KAIN



Pertama kali mengenal kain Cual adalah waktu saya duduk dibangku SLTA. Dulu saya megenalnya sebatas pada kain tradisional dari Bangka dan sering digunakan sebagai seragam mengajar oleh dewan guru maupun ada beberapa sekolah yang menjadikannya seragam sekolah untuk hari-hari tertentu. Sebatas itulah yang saya ketahui tentang kain Cual saat itu.

Tahun 2007, saat pertama merantau keluar dari Bangka untuk melanjutkan kuliah ke tanah Jawa saat sedang hebohnya tentang pegakuan terhadap kain tradisional Indonesia. Para mahasiswa di Kampus tempat saya kuliah melakukan gerakan untuk mengenakan kain tradisional Indonesia setiap hari kamis maupun jumat. Saat itu saya bariu teringat akan kain Cual. Iya, jika disarankan untuk menggunakan kain tradisional maka saya ingin menunjukkan kain tradisional dari tanah kelahiran saya.

Akhirnya, sampailah di asrama tempat saya menginap di kampus sepasang kain Cual berwarna coklat dan biru bermotif kembang gajah. Saat melihat kain tersebut saya baru tersadar dan setengah terperanjat. Betapa kehadiran kain tersebut telah membawa ingatan saya ke kampung halaman. Melalui kedatangan kain Cual itu pula saya terbantu untuk bercerita tentang tanah kelahiran saya. Ada perasaan dan samangat baru yang timbul dan dengan cepat saya mendatangi tukang jahit. Sengaja saya mencari tukang jahit yang terbaik di seputaran kampus karena saya ingin mendapatkan hasil yang terbaik.  

Tidak sampai seminggu dua kain Cual itu telah menjelma menjadi dua baju. Saat pertama kali mengenakannya ada motivasi yang kuat tuk menjadi lebih baik. Ada motivasi yang mengalir deras dalam diri. Seperti seorang anak yang telah menemukan jati diri. Seperti pencari iman yang telah mendapatkan pencerahan.

Begitulah  perasaan haru biru saat pertama mengenakannya, terasa ada aliran deras dari para leluhur untuk menjadi lebih baik. Mengenakan kain Cual benar-benar membuat saya menjadi yakin bahwa ada kala kita perlu untuk menelaah masa lalu kejayaan negeri melalui karya para leluhur. Akan ada semangat baru dan motivasi yang akan membuat kita bisa mencipta karya yang lebih baik lagi. Hingga kini momen itu tetap terasa setiap kali saya mengenakan kain Cual.  Sampai sekarang pun saya menjadi begitu nyaman untuk mengenakannya dalam berbagai kegiatan. Bepergian bersama baju dari kain Cual atau pun menghadiri kegiatan dengan baju Cual tetap membuat saya menjadi nyaman. Karena, ada ruh kejayaan para leluhur dalam tiap motifnya. Semangat untuk berkarya dengan inspirasi dari kain tradisional. 


Minggu, 18 Oktober 2015

CUAL KU MERANTAU



Pagi ini aku terbangun seperti biasa dengan tempat tidur yang begitu posesif. Ia seharusnya ini hari minggu dan tak perlu bangun terlalu awal sepetinya. Kalau bukan karena adanya acara pertemuan dipagi minggu ini, sudah pasti saya akan tetap memeluk erat guling dan bermesraan dengan tempat tidur. Agak sulit ku buka juga mata dan tatap mata langsung terbentur pada sejenis baju di gagang pintu lemari.

Setengah jiwaku terperanjat dan menarik paksa raga ke arah lemari. Diluar kendali tangan ku langsung menggapai baju itu. Entahlah kenapa baju itu bisa berada di gagang lemari dan sekarang melesat cepat ke genggaman tanganku. Perlahan ku amati motif yang ada dipakaian itu. Motif yang sebentuk dengan bunga tapi berukuran besar dan sangat besar. Bunga gajah? Perlahan kujamah motif itu. Terbersit, berbisik dan terperanjatlah jiwa. Ia ini adalah bunga gajah, terikatlah ingatan pada satu tempat. Negeri asal bunga gajah ini dengan segala bentuk rupanya. Samar tetapi terasa tak asing. Negeri serumpun sebalai, tanah sejiran setason, pulau Bangka. Beradulah semua ingatan itu semeraut memasuki alam pikir.
Kembali ku raba motif itu, ku perhatikan tiap detailnya seluruh benang yang menyusunnya. Menerawanglah aku ketanah pesisir terpana pada para wanita penenun dengan jemari yang lentik menari diantara benang-benang itu. Ayunan kuat dari lengan berpadu dengan jemari lembut merangkai tiap benang. Benang-benang terpintal kuat itu mencekik dan menarik ku ke pesisir. Dentum ombak menghantam karang sombong diteriaki ikan-ikan kecil. Entahlah mengapa rumah-rumah itu mesti dipesisir dan para penenun itu mesti menenun di teras rumah panggung.

Lambat dan penuh kepastian kudekatkan hidungku ke pakaian itu, remasan pelahan sengaja kulakukan tuk memaksa aroma tersembunyi disela-sela benang it semburat keluar. Kukerahkan seluruh saraf penciuman tuk mencari sesuatu yang kuyakini ada di situ. Aroma itu perlahan akhirnya keluar dan merasuki saraf penciuman ku, aroma rempah dan bijih timah. Aroma itu merasuk kuat aroma yang telah mengundang kompeni dan para pelayar tuk melabuhkan kapal di tanah berpasir putih berbatu besar itu. Ia, ini adalah aroma yang terhirup kuat sampai penjuru bumi, aroma pemanggil para pencari kekayaan untuk mendatangi  Bangka.

Aku tenggelam dalam aroma itu. Masuk ke dalam pesta-pesta kehormatan. Menari dan tertawa dalam acara perayaan keagamaan, mereka semua menggunakan motif itu. Para wanita bermata sipit dengan kipas ditangan dan senyum merah dari bibir berpoles rias keanggunan. Pakaiannya bermotif sama persis seperti baju yang kugenggam. Indah pola tingkah para penari memanggil para lajang untuk ikut serta menari, gemerincing suara bersatu dengan alunan gendang. Riuh seperti suara kayu tenun bertemu dengan derau ombak.

Entah kenapa ku semakin terpaku perlahan ku kenakan pakaian bermotif itu. Seluruh langit terasa menyelimuti membawaku pada lorong waktu. Menarikku pada peristiwa-peristiwa lampau. Berjalan diantara kemeriahan, tertawa sopan  bersama para bangsawan. Semakin erat pakaian itu memelukku dan semakin kurasakan sanjung puji dari semua orang yang melihatku dengan pakaian itu. Mata-mata para rakyat yang terperanjat kagum semuanya terpana melihatku.

Terjerembab aku terduduk entahlah kaki serasa begitu berat tuk menopang. Nanar mataku menatap kedepan sebuah tempias dari cermin yang menampakkan sosokku. Perlahan kutundukkan kepala lesu dengan semua lompatan pikir. Tetiba aku merasa oksigen di sekeliling begitu menipis dan ku tarik napas panjang tuk meyakinkan itu. Kembali kutatap cermin itu dan benar saja aku tak lah kemana-mana dan aku masih disini, diruang segi empat dengan baju kain cual bermotif bunga  gajah. Entah igauan apa yang tadi merasuk menarik ke tanah nun jauh di sana, tanah tempat ku memijakkan kaki saat berada di muka bumi ini. Tanah yang kini telah lama tak kupijaki.
Ah sudahlah dan aku pun belum mandi.