Pagi
ini aku terbangun seperti biasa dengan tempat tidur yang begitu posesif. Ia seharusnya
ini hari minggu dan tak perlu bangun terlalu awal sepetinya. Kalau bukan karena
adanya acara pertemuan dipagi minggu ini, sudah pasti saya akan tetap memeluk
erat guling dan bermesraan dengan tempat tidur. Agak sulit ku buka juga mata
dan tatap mata langsung terbentur pada sejenis baju di gagang pintu lemari.
Setengah
jiwaku terperanjat dan menarik paksa raga ke arah lemari. Diluar kendali tangan
ku langsung menggapai baju itu. Entahlah kenapa baju itu bisa berada di gagang
lemari dan sekarang melesat cepat ke genggaman tanganku. Perlahan ku amati
motif yang ada dipakaian itu. Motif yang sebentuk dengan bunga tapi berukuran
besar dan sangat besar. Bunga gajah? Perlahan kujamah motif itu. Terbersit, berbisik
dan terperanjatlah jiwa. Ia ini adalah bunga gajah, terikatlah ingatan pada
satu tempat. Negeri asal bunga gajah ini dengan segala bentuk rupanya. Samar tetapi
terasa tak asing. Negeri serumpun sebalai, tanah sejiran setason, pulau Bangka.
Beradulah semua ingatan itu semeraut memasuki alam pikir.
Kembali
ku raba motif itu, ku perhatikan tiap detailnya seluruh benang yang
menyusunnya. Menerawanglah aku ketanah pesisir terpana pada para wanita penenun
dengan jemari yang lentik menari diantara benang-benang itu. Ayunan kuat dari
lengan berpadu dengan jemari lembut merangkai tiap benang. Benang-benang
terpintal kuat itu mencekik dan menarik ku ke pesisir. Dentum ombak menghantam
karang sombong diteriaki ikan-ikan kecil. Entahlah mengapa rumah-rumah itu
mesti dipesisir dan para penenun itu mesti menenun di teras rumah panggung.
Lambat
dan penuh kepastian kudekatkan hidungku ke pakaian itu, remasan pelahan sengaja
kulakukan tuk memaksa aroma tersembunyi disela-sela benang it semburat keluar. Kukerahkan
seluruh saraf penciuman tuk mencari sesuatu yang kuyakini ada di situ. Aroma itu
perlahan akhirnya keluar dan merasuki saraf penciuman ku, aroma rempah dan
bijih timah. Aroma itu merasuk kuat aroma yang telah mengundang kompeni dan
para pelayar tuk melabuhkan kapal di tanah berpasir putih berbatu besar itu. Ia,
ini adalah aroma yang terhirup kuat sampai penjuru bumi, aroma pemanggil para
pencari kekayaan untuk mendatangi
Bangka.
Aku
tenggelam dalam aroma itu. Masuk ke dalam pesta-pesta kehormatan. Menari dan
tertawa dalam acara perayaan keagamaan, mereka semua menggunakan motif itu. Para
wanita bermata sipit dengan kipas ditangan dan senyum merah dari bibir berpoles
rias keanggunan. Pakaiannya bermotif sama persis seperti baju yang kugenggam. Indah
pola tingkah para penari memanggil para lajang untuk ikut serta menari, gemerincing
suara bersatu dengan alunan gendang. Riuh seperti suara kayu tenun bertemu
dengan derau ombak.
Entah
kenapa ku semakin terpaku perlahan ku kenakan pakaian bermotif itu. Seluruh langit
terasa menyelimuti membawaku pada lorong waktu. Menarikku pada
peristiwa-peristiwa lampau. Berjalan diantara kemeriahan, tertawa sopan bersama para bangsawan. Semakin erat pakaian
itu memelukku dan semakin kurasakan sanjung puji dari semua orang yang melihatku
dengan pakaian itu. Mata-mata para rakyat yang terperanjat kagum semuanya
terpana melihatku.
Terjerembab
aku terduduk entahlah kaki serasa begitu berat tuk menopang. Nanar mataku
menatap kedepan sebuah tempias dari cermin yang menampakkan sosokku. Perlahan kutundukkan
kepala lesu dengan semua lompatan pikir. Tetiba aku merasa oksigen di sekeliling
begitu menipis dan ku tarik napas panjang tuk meyakinkan itu. Kembali kutatap
cermin itu dan benar saja aku tak lah kemana-mana dan aku masih disini, diruang
segi empat dengan baju kain cual bermotif bunga
gajah. Entah igauan apa yang tadi merasuk menarik ke tanah nun jauh di
sana, tanah tempat ku memijakkan kaki saat berada di muka bumi ini. Tanah yang
kini telah lama tak kupijaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar