Minggu, 18 Oktober 2015

CUAL KU MERANTAU



Pagi ini aku terbangun seperti biasa dengan tempat tidur yang begitu posesif. Ia seharusnya ini hari minggu dan tak perlu bangun terlalu awal sepetinya. Kalau bukan karena adanya acara pertemuan dipagi minggu ini, sudah pasti saya akan tetap memeluk erat guling dan bermesraan dengan tempat tidur. Agak sulit ku buka juga mata dan tatap mata langsung terbentur pada sejenis baju di gagang pintu lemari.

Setengah jiwaku terperanjat dan menarik paksa raga ke arah lemari. Diluar kendali tangan ku langsung menggapai baju itu. Entahlah kenapa baju itu bisa berada di gagang lemari dan sekarang melesat cepat ke genggaman tanganku. Perlahan ku amati motif yang ada dipakaian itu. Motif yang sebentuk dengan bunga tapi berukuran besar dan sangat besar. Bunga gajah? Perlahan kujamah motif itu. Terbersit, berbisik dan terperanjatlah jiwa. Ia ini adalah bunga gajah, terikatlah ingatan pada satu tempat. Negeri asal bunga gajah ini dengan segala bentuk rupanya. Samar tetapi terasa tak asing. Negeri serumpun sebalai, tanah sejiran setason, pulau Bangka. Beradulah semua ingatan itu semeraut memasuki alam pikir.
Kembali ku raba motif itu, ku perhatikan tiap detailnya seluruh benang yang menyusunnya. Menerawanglah aku ketanah pesisir terpana pada para wanita penenun dengan jemari yang lentik menari diantara benang-benang itu. Ayunan kuat dari lengan berpadu dengan jemari lembut merangkai tiap benang. Benang-benang terpintal kuat itu mencekik dan menarik ku ke pesisir. Dentum ombak menghantam karang sombong diteriaki ikan-ikan kecil. Entahlah mengapa rumah-rumah itu mesti dipesisir dan para penenun itu mesti menenun di teras rumah panggung.

Lambat dan penuh kepastian kudekatkan hidungku ke pakaian itu, remasan pelahan sengaja kulakukan tuk memaksa aroma tersembunyi disela-sela benang it semburat keluar. Kukerahkan seluruh saraf penciuman tuk mencari sesuatu yang kuyakini ada di situ. Aroma itu perlahan akhirnya keluar dan merasuki saraf penciuman ku, aroma rempah dan bijih timah. Aroma itu merasuk kuat aroma yang telah mengundang kompeni dan para pelayar tuk melabuhkan kapal di tanah berpasir putih berbatu besar itu. Ia, ini adalah aroma yang terhirup kuat sampai penjuru bumi, aroma pemanggil para pencari kekayaan untuk mendatangi  Bangka.

Aku tenggelam dalam aroma itu. Masuk ke dalam pesta-pesta kehormatan. Menari dan tertawa dalam acara perayaan keagamaan, mereka semua menggunakan motif itu. Para wanita bermata sipit dengan kipas ditangan dan senyum merah dari bibir berpoles rias keanggunan. Pakaiannya bermotif sama persis seperti baju yang kugenggam. Indah pola tingkah para penari memanggil para lajang untuk ikut serta menari, gemerincing suara bersatu dengan alunan gendang. Riuh seperti suara kayu tenun bertemu dengan derau ombak.

Entah kenapa ku semakin terpaku perlahan ku kenakan pakaian bermotif itu. Seluruh langit terasa menyelimuti membawaku pada lorong waktu. Menarikku pada peristiwa-peristiwa lampau. Berjalan diantara kemeriahan, tertawa sopan  bersama para bangsawan. Semakin erat pakaian itu memelukku dan semakin kurasakan sanjung puji dari semua orang yang melihatku dengan pakaian itu. Mata-mata para rakyat yang terperanjat kagum semuanya terpana melihatku.

Terjerembab aku terduduk entahlah kaki serasa begitu berat tuk menopang. Nanar mataku menatap kedepan sebuah tempias dari cermin yang menampakkan sosokku. Perlahan kutundukkan kepala lesu dengan semua lompatan pikir. Tetiba aku merasa oksigen di sekeliling begitu menipis dan ku tarik napas panjang tuk meyakinkan itu. Kembali kutatap cermin itu dan benar saja aku tak lah kemana-mana dan aku masih disini, diruang segi empat dengan baju kain cual bermotif bunga  gajah. Entah igauan apa yang tadi merasuk menarik ke tanah nun jauh di sana, tanah tempat ku memijakkan kaki saat berada di muka bumi ini. Tanah yang kini telah lama tak kupijaki.
Ah sudahlah dan aku pun belum mandi. 

Tidak ada komentar: